SKBT,( Surat Keterangan Bebas Temuan )
itulah yang sering saya baca dalam persyaratan kualifikasi lelang di
suatu negeri antah berantah. Kualifikasi usaha menjadi ajang penambahan
“sesuatu ” yang jelas bukan merupakan syarat kualifikasi yang diatur
oleh Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya.
Sesuai Peraturan Kepala Nomer 15 Tahun
2012, Pokja dapat menyesuaikan SBD sepanjang tidak bertentangan dengan
Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Barang dan jasa termasuk Petunjuk
Teknisnya. Hal ini setidaknya Pepres tidak memonopoli kebijakanya, namun
tetap bersinergi dengan aturan teknis yang dibuat atau diatur oleh
lembaga teknis terkait .
Mengenai persyaratan tambahan yang
menyebabkan evaluasi menjadi evaluasi yang tidak sehat, juga di atur
dalam IKP SBD LKPP Point 26.3 huruf d anka 2 yaitu “Penambahan
dari peserta dengan persyaratan tambahan yang akan menimbulkan
persaingan usaha tidak sehat dan/atau tidak adil diantara peserta yang
memenuhi syarat” mengenai penawaran yang memenuhi syarat adalah
penawaran yang sesuai dengan ketentuan, syarat-syarat, dan spesifikasi
teknis yang ditetapkan dalam Dokumen Pemilihan ini, tanpa ada
penyimpangan yang bersifat penting/pokok atau penawaran bersyarat.
Berbicara penawaran yang sesuai tentunya
mengacu ke prinsip pengadaan yaitu pada pasal 5 ayat 1 huruf f
“adil/tidak disikriminatif “. Yang namanya diskriminasi dapat
saya istilahkan adalah “Merujuk kepada pelayanan yang tidak adil
terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan
karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi
merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia,
ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang
lain”.
Tentu hal ini akan menyebabkan persaingan
lelang yang tidak sehat, yang tidak adil dan akhirnya tidak dapat
diikuti oleh seluruh penyedia yang selayaknya memiliki hak untuk
berkompetesi,. Maka dari itu, pada pasal 56 ayat 10 , Pepres Nomer 54
tahun 2010 dan perubahannya “ULP/Pejabat Pengadaan dilarang
menambah persyaratan kualifikasi yang bertujuan diskriminatif serta
diluar yang telah ditetapkan dalam ketentuan Peraturan Presiden ini.” Hal ini juga pelarangan kepada PA/KPA pada saat melakukan pemaketan pekerjaan yaitu pada pasal 24 ayat d
” PA dilarang menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan
yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.
SKBT,( Surat Keterangan Bebas Temuan )
menurut seorang Pokja nun jauh disana mengapa disyaratkan , karena
Pokja harus dituntut mendapatkan penyedia yang kualifiet yang dapat
menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak . Dengan adanya
persyaratan tersebut, maka akan meminimalisasi permasalahan pada
pelaksanaan pekerjaan.
Pertanyaan saya adalah, apakah SKBT itu
merupakan jaminan penyedia itu akan melakukan pekerjaan sesuai dengan
Kontrak? apakah SKBT tersebut merupakan jaminan layaknya jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan
yang menjadi jaminan PPK untuk memberikan sanksi pencairan dana kepada
Penyedia? Jika iya , tentunya SKBT itu dijamin oleh asuransi atau bank
dengan nominal nilainya. Namun nyatanya SKBT itu hanyalah sebuah surat
pengakuan dari Tim Pemeriksa/Inspektorat, bahwa penyedia selama ini
bebas temuan merugikan negara.
Untuk mendapatkan penyedia yang baik dan
kualifiet, tidak mesti harus membatasi penyedia yang ingin menawar
dengan penambahan syarat yang bukan merupakan syarat yang dapat secara
adil dipenuhi peserta, namun PPK dalam hal ini yang memiliki tugas
membuat persyaratan teknis sebaiknya lebih mengamankan klausul rancangan
kontraknya dengan melihat pengalaman kontrak sebelumnya menjadi
pembelajaran untuk merancang kontrak lebih baik , ketimbang harus
membuat persyaratan tambahan lain yang justru mengkotak kotakan
penyedia.
Berbicara SKBT,( Surat Keterangan Bebas
Temuan ) jika hanya sifatnya sebagai alasan untuk mencari penyedia yang
kualifiet, maka ingat lah pada kontrak , perjanjian kontrak, baik SSUK
dan SSKK nya. Dalam kontrak sudah memberi resiko resiko atas wanprestasi
kepada penyedia, baik pemutusan kontrak, pencairan dana dan bahkan
pencatuman daftar hitam. Maka dari itu, setiap terjadinya cidera janji
pada kontrak, PPK mesti bersikap tegas dengan menjalankan Amanat Pasal
93 ayat 2 yaitu “
Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa:- Jaminan pelaksanaan dicairkan
- sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka dicairkan;
- Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan
- Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam.
Jika amanat itu dijalankan, maka kedepan
PPK tidak harus terlalu trauma dengan penyedia penyedia yang tidak baik
melaksakan pekerjaan dengan malah menambah persyaratan persyaratan yang
sama sekali tidak dapat dipenuhi semua penyedia, apalagi yang ingin
menawar nanti penyedia yang baik kualfikasinya. Dengan adanya pemutusan
kontrak dan berakhir dengan Daftar hitam, maka kedepan penyedia tersebut
tidak akan lagi dapat mengikuti pekerjaan sebagai penyedia, karena pada
pasal 19 ayat 1 huruf n, sebagai penyedia harus tidak masuk daftar
hitam “
Jadi menurut saya, jika pun alasannya
karena ada Perwali/Perbupdan sekalipun pergup,untuk meminta
persyaratan ini, maka harus diingat pasal 129 ayat 3 “Pengaturan
Pengadaan Barang/Jasa yang dibiayai APBN, apabila ditindaklanjuti dengan
Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga/ Institusi lain Pengguna APBN, harus
tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan
Peraturan Presiden dan ayat 4 ” .Pengaturan Pengadaan Barang/Jasa yang
dibiayai APBD, apabila ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah/Keputusan
Kepala Daerah/Pimpinan Institusi lainnya pengguna APBD, harus
tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan Peraturan Presiden .
Semoga kedepan tidak ada lagi penambahan
penambahan persyaratan yang tentunya bertetangan dengan Peraturan
presiden tentang pengadaan barang dan jasa.
Penulis : I Made Heriyana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar