Laman

Selasa, 15 Maret 2016

Surat Keterangan Bebas Temuan (SKBT), Bukan Syarat Lelang

SKBT,( Surat Keterangan Bebas Temuan )  itulah yang sering saya baca dalam persyaratan kualifikasi lelang di suatu negeri antah berantah.  Kualifikasi usaha menjadi ajang penambahan “sesuatu ” yang jelas bukan merupakan syarat kualifikasi yang diatur oleh Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya.

Sesuai Peraturan Kepala Nomer 15 Tahun 2012, Pokja dapat menyesuaikan SBD sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Barang dan jasa termasuk Petunjuk Teknisnya. Hal ini setidaknya Pepres tidak memonopoli kebijakanya, namun tetap bersinergi dengan aturan  teknis yang dibuat atau diatur oleh lembaga teknis terkait .

Mengenai persyaratan tambahan yang menyebabkan evaluasi menjadi evaluasi yang tidak sehat, juga di atur dalam IKP SBD LKPP Point 26.3 huruf d anka 2 yaitu “Penambahan dari peserta dengan persyaratan tambahan yang akan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau tidak adil diantara peserta yang memenuhi syarat” mengenai penawaran yang memenuhi syarat adalah penawaran yang sesuai dengan ketentuan, syarat-syarat, dan spesifikasi teknis yang ditetapkan dalam Dokumen Pemilihan ini, tanpa ada penyimpangan yang bersifat penting/pokok atau penawaran bersyarat.

Berbicara penawaran yang sesuai tentunya mengacu ke prinsip pengadaan yaitu pada pasal 5 ayat 1 huruf  f “adil/tidak disikriminatif “. Yang namanya diskriminasi dapat saya istilahkan adalah “Merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain”.

Tentu hal ini akan menyebabkan persaingan lelang yang tidak sehat, yang tidak adil dan akhirnya tidak dapat diikuti oleh seluruh penyedia yang selayaknya memiliki hak untuk berkompetesi,. Maka dari itu, pada pasal 56 ayat 10 , Pepres Nomer 54 tahun 2010 dan perubahannya “ULP/Pejabat Pengadaan dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang bertujuan diskriminatif serta diluar yang telah ditetapkan dalam ketentuan Peraturan Presiden ini.” Hal ini juga pelarangan kepada PA/KPA pada saat melakukan pemaketan pekerjaan yaitu pada pasal 24 ayat d ” PA dilarang menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.

SKBT,( Surat Keterangan Bebas Temuan ) menurut seorang Pokja nun jauh disana mengapa  disyaratkan , karena Pokja harus dituntut mendapatkan penyedia yang kualifiet yang dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak . Dengan adanya persyaratan tersebut, maka akan meminimalisasi permasalahan pada pelaksanaan pekerjaan.

Pertanyaan saya adalah, apakah SKBT itu merupakan jaminan penyedia itu akan melakukan pekerjaan sesuai dengan Kontrak? apakah SKBT tersebut merupakan jaminan layaknya jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan yang menjadi jaminan PPK untuk memberikan sanksi pencairan dana kepada Penyedia? Jika iya , tentunya SKBT itu dijamin oleh asuransi atau bank dengan nominal nilainya. Namun nyatanya SKBT itu hanyalah sebuah surat pengakuan dari Tim Pemeriksa/Inspektorat, bahwa penyedia selama ini bebas temuan merugikan negara.

Untuk mendapatkan penyedia yang baik dan kualifiet, tidak mesti harus membatasi penyedia yang ingin menawar dengan penambahan syarat yang bukan merupakan syarat yang dapat secara adil dipenuhi peserta, namun PPK dalam hal ini yang memiliki tugas membuat persyaratan teknis sebaiknya lebih mengamankan klausul rancangan kontraknya dengan melihat pengalaman kontrak sebelumnya menjadi pembelajaran untuk merancang kontrak lebih baik , ketimbang harus membuat persyaratan tambahan lain yang justru mengkotak kotakan penyedia.

Berbicara SKBT,( Surat Keterangan Bebas Temuan ) jika hanya sifatnya sebagai alasan untuk mencari penyedia yang kualifiet, maka ingat lah pada kontrak , perjanjian kontrak, baik SSUK dan SSKK nya. Dalam kontrak sudah memberi resiko resiko atas wanprestasi kepada penyedia, baik pemutusan kontrak, pencairan dana dan bahkan pencatuman daftar hitam. Maka dari itu, setiap terjadinya cidera janji pada kontrak, PPK mesti bersikap tegas dengan menjalankan Amanat Pasal 93 ayat 2 yaitu “
Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa:
  • Jaminan pelaksanaan dicairkan
  • sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka dicairkan;
  • Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan 
  • Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam.
Jika amanat itu dijalankan, maka kedepan PPK tidak harus terlalu trauma dengan penyedia penyedia yang tidak baik melaksakan pekerjaan dengan malah menambah persyaratan persyaratan yang sama sekali tidak dapat dipenuhi semua penyedia, apalagi yang ingin menawar nanti penyedia yang baik kualfikasinya. Dengan adanya pemutusan kontrak dan berakhir dengan Daftar hitam, maka kedepan penyedia tersebut tidak akan lagi dapat mengikuti pekerjaan sebagai penyedia, karena pada pasal 19 ayat 1 huruf n, sebagai penyedia harus tidak masuk daftar hitam “

Jadi menurut saya, jika pun alasannya  karena ada  Perwali/Perbupdan sekalipun pergup,untuk meminta persyaratan ini,  maka harus diingat pasal 129 ayat 3 “Pengaturan Pengadaan Barang/Jasa yang dibiayai APBN, apabila ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga/ Institusi lain Pengguna APBN, harus tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden dan ayat 4 ” .Pengaturan Pengadaan Barang/Jasa yang dibiayai APBD, apabila ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah/Keputusan Kepala Daerah/Pimpinan Institusi lainnya pengguna APBD, harus tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden .

Semoga kedepan tidak ada lagi penambahan penambahan persyaratan yang tentunya bertetangan dengan Peraturan presiden tentang pengadaan barang dan jasa.

Penulis : I Made Heriyana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar