Jumat, 18 Maret 2016

Methode Evaluasi Menyimpang, Kesengajaan atau Ketidaktahuan?

Metode evaluasi yang akan digunakan dalam Evaluasi Penawaran Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dalam Perpres RI No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah sebagaimana yang telah diubah hingga perubahan keempat menjadi Perpres RI No. 4 Tahun 2015 beserta turunan-turunannya, dibagi atas 3 (tiga) sistem, sebagaimana disebutkan pada pasal : 

Perpres RI No. 54 Tahun 2010 dan perubahan-perubahannya
Pasal 48 
     ayat (1) Metode evaluasi penawaran dalam pemilihan penyedia barang/pekerjaan konstruksi/jasa                      lainnya terdiri atas :
                   a. sistem gugur;
                   b. sistem nilai;
                   c. sitem penilaian biaya selama umur ekonomis.
     ayat (2) Metode evaluasi penawaran untuk Pengadaan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa lainnya
                   pada prinsipnya menggunakan penilaian sistem gugur.

Pemilihan metode evaluasi dengan sistem gugur sebagaimana disebutkan dalam ayat (2) pasal di atas, diatur pada Lampiran Permen PUPR No. 31/PRT/M/2015 dalam Buku Pedoman Pekerjaan Konstruksi yang membagi metode evaluasi dengan sistem gugur menjadi 3 (tiga) bagian yakni :
1. Evaluasi Sistem Gugur dengan Pascakualifikasi
2. Evaluasi Sistem Gugur dengan Prakualifikasi
3. Evaluasi Sistem Gugur dengan Ambang Batas

Pada kesempatan ini, penulis membahas pemilihan metode sistem gugur yang sering digunakan sebagian Pokja ULP yang menyimpang dari aturan yang berlaku. Dimana dalam melakukan evaluasi penawaran dengan sistem gugur, masih saja ada yang mencampur adukkan sistem gugur pascakualifikasi dengan sistem gugur ambang batas pada pengadaan barang dan jasa dengan pascakualifikasi satu sampul.

Sistem Gugur dengan Ambang Batas dapat saja digunakan pada evaluasi penawaran pengadaan barang dan jasa baik itu pascakualifikasi maupun prakualifikasi, Namun penggunaan metode evaluasi dengan sistem gugur dengan ambang batas ini, harus memenuhi kriteria tertentu. Sebagaimana yang dimaksud pada Lampiran Permen PUPR Buku Pedoman PK BAB II bagian B angka 6 
huruf c
Metode satu sampul, sistem gugur dengan ambang batas, pascakualifikasi/prakualifikasi. 
Penilaian dilakukan dengan memberikan nilai angka (skor) terhadap unsur-unsur teknis yang dinilai berdasarkan kriteria dan bobot yang telah ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan; dan penawaran dinyatakan lulus teknis apabila masing-masing unsur maupun nilai total keseluruhan unsur memenuhi ambang batas minimal yang ditetapkan dalam Dokumen Pengadaan. 
Penetapan kriteria evaluasi sistem gugur ambang batas harus terlebih dahulu ditetapkan oleh Pejabat Eselon 1 Satminkal terkait. 
Dalam hal pemberian bobot/nilai pada kriteria/substansi/uraian evaluasi teknis dengan sistem gugur ambang batas belum ditetapkan oleh pejabat eselon 1 terkait di Lingkungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, maka Pokja ULP menggunakan evaluasi sistem gugur.

Berikut contoh Evaluasi Sistem Gugur yang sering dilakukan oleh beberapa Pokja dalam Evaluasi Teknis pada Pengadaan Barang dan Jasa dengan Pascakualifikasi yang menyimpang dan tidak memenuhi kriteria pada aturan diatas :





Contoh di atas penulis ambil dari Dokumen Pengadaan pada Paket Pembangunan Gedung Perumahan pada salah satu kementerian. Dengan pekerjaan untuk Usaha Kecil.
Penentuan metode evaluasi tersebut digunakan entah karena ketidaktahuan atau memang karena kesengajaan. Karena sudah berlangsung beberapa tahun terakhir, sejak dilaksanakannya sistem pengadaan secara elektronik.

#savePBJSehatdanBersih

Penyimpangan Syarat Kualifikasi yang Sering Terjadi

Pemerintah ketika menerbitkan Peraturan Presiden RI No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, beserta perubahan-perubahannya, sangat antusias dengan penyelenggaraan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah yang sehat dan bersih serta mengedepankan penyederhanaan proses. Begitupun dengan beberapa turunan-turunannya seperti Permen PUPR No. 31/PRT/M/2015 dan Perka LKPP No. 1 Tahun 2015. 

Namun, sayangnya, niat mulia Pemerintah Pusat tersebut tidak terlalu "menyentuh hati" para Penyelenggara PBJ di tingkat bawah, dalam hal ini Kelompok Kerja ULP. Begitu banyaknya penyimpangan yang dilakukan dan terkesan disengaja, hanya untuk memenuhi kepentingan pihak tertentu. Penyimpangan yang sering dilakukan yakni pada penyusunan Dokumen Pengadaan, yang terletak pada Syarat-Syarat Kualifikasi dan Metode Evaluasi yang digunakan. 

§   Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa beserta Perubahan-Perubahannya
       ·     Pasal 56
Ayat 10
Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan DILARANG menambah persyaratan kualifikasi yang bersifat Diskriminatif serta diluar yang telah ditetapkan dalam ketentuan Peraturan Presiden ini
Ayat 11
Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan WAJIB menyederhanakan proses kualifikasi dengan ketentuan :
a.     meminta penyedia barang/jasa mengisi formulir kualifikasi
b. tidak meminta seluruh dokumen yang disyaratkan kecuali pada tahap pembuktian kualifikasi
c.  pembuktian kualifikasi pada pelelangan/seleksi internasional dapat dilakukan dengan meminta dokumen yang dapat membuktikan kompetensi calon penyedia barang/jasa
Kata “DILARANG” dan kata “WAJIB” merupakan kata yang harus dituruti, dan bilamana tidak dituruti, berarti merupakan suatu penyimpangan/pelanggaran terhadap pasal tersebut. Namun sejak diberlakukannya Peraturan Presiden tersebut kerap kali dilanggar. ‘

Misalnya ketika Kelompok Kerja ULP meminta seluruh dokumen yang dipersyaratkan untuk dilampirkan dalam Dokumen Penawaran, antara lain, hasil scan seluruh data kualifikasi, seperti Ijazah, KTP, NPWP dan Curriculum Vitae Personil, Bukti Peralatan, Bukti Pengalaman Kerja, dan masih banyak lagi yang lainnya.

Salah satu contohnya
pada gambar tersebut jelas mewajibkan penyedia untuk melampirkan seluruh hasil scan dari data kualifikasi personil yang diminta. Bilamana tidak melampirkan, maka penyedia sudah dipastikan Gugur. Padahal ketentuan pada Peraturan Presiden diwajibkan untuk menyederhanakan dan meminta semua kelengkapan tersebut pada tahap pembuktian kualifikasi. 

§    Perpres 54 Tahun 2010 beserta perubahan-perubahannya Pasal 1 Ayat (19) :
Sertifikat Keahlian Barang/Jasa adalah tanda bukti pengakuan dari pemerintah atas kompetensi dan kemampuan profesi di bidang pengadaan barang/jasa
§     Permen PU No. 09/PRT/M/2013 tentang Persyaratan Kompetensi untuk Subkualifikasi Tenaga Ahli dan Tenaga Terampil di Bidang Jasa Konstruksi Pasal 1 Ayat (6) :
Sertifikat adalah tanda bukti pengakuan pemerintah atas kompetensi dan kemampuan profesi keahlian kerja dan keterampilan kerja orang perorangan di bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan/atau keterampilan tertentu dan/atau kefungsian dan/atau keahlian tertentu.
Ketentuan pada pasal-pasal tersebut di atas menegaskan, bahwa dengan adanya Sertifikat yang dimiliki oleh seseorang baik itu sebagai tenaga ahli ataupun sebagai tenaga terampil, maka sudah diakui oleh pemerintah atas kompetensi dan kemampuan yang dimilikinya. Jadi sebagai syarat untuk menjadi seorang tenaga ahli dan tenaga terampil, cukup dengan menunjukkan Sertifikat Keahlian atau Sertifikat Keterampilan, tidak perlu lagi menunjukkan ijazah dan kelengkapan lainnya.
Dalam Pasal 1 Ayat (6) Permen PU diatas, terdapat kata “dan/atau”, itu berarti pemenuhan atas syarat tersebut dapat dimiliki salah satunya atau kesemuanya.
Namun untuk syarat Personil Tenaga Ahli dan Terampil, Pokja ULP meminta kelengkapan-kelengkapan personil seperti Ijazah, KTP, NPWP dan Curriculum Vitae. Padahal semua kelengkapan tersebut sudah dipenuhi sebagai syarat dalam penerbitan sertifikat dan telah lulus uji kompetensi, sehingga lembaga yang berkompeten sudah menerbitkan Sertifikat Keahlian dan Sertifikat Keterampilan personil tersebut.
Jadi bukan lagi kewenangan Pokja ULP untuk memeriksa semua kelengkapan personil tersebut.
Demikian halnya Pokja ULP juga sering meminta untuk melengkapi dengan Ijazah dengan jurusan tertentu. Permen PU 09/PRT/M/2013 pada Pasal 1 Ayat (7) menyebutkan, "Persyaratan Pendidikan adalah Pendidikan Minimal yang harus dimiliki oleh seseorang dan dibuktikan dengan ijazah dari institusi pendidikan formal". 
Berikut lampiran Permen PU 09/PRT/M/2013 :

§   Permen PUPR No. 31/PRT/M/2015 Perubahan Kedua Permen PU No. 07/PRT/M/2011 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi  dan Jasa Konsultansi, pada lampirannya Buku Pedoman Pekerjaan Konstruksi BAB V bagian B angka 3 huruf d) poin (2) :
Penilaian Personil manajerial (ahli/terampil) pada organisasi pelaksanaan pekerjaan. Untuk usaha non kecil tidak termasuk tenaga terampil dan/atau personil pendukung, sedangkan untuk usaha kecil cukup personil pelaksana (tenaga terampil).
Ketentuan pada Peraturan Menteri ini, menegaskan, Tenaga Ahli hanya dipersyaratkan pada pekerjaan untuk usaha non kecil dan Tenaga Terampil hanya dipersyaratkan pada pekerjaan untuk usaha kecil.
Kalaupun pada pekerjaan untuk usaha non kecil, Pokja ULP meminta Tenaga Terampil dan/atau tenaga pendukung lainnya seperti tenaga administrasi/tenaga logistik, tidak dilarang namun bukan menjadi syarat lelang untuk penilaian dalam evaluasi teknik. Kalaupun penyedia tidak melampirkan tenaga tersebut, Pokja ULP tidak boleh menggugurkan.
Begitupun pada pekerjaan usaha kecil, permintaan Tenaga Ahli bukan sebagai syarat lelang, dan tidak menggugurkan bilamana penyedia tidak melampirkan. Karena tidak termasuk dalam penilaian personil manajerial dalam evaluasi teknis penawaran.
berikut contoh syarat personil yang bertentangan dengan Permen tersebut diatas :

§    Permen PUPR No. 31/PRT/M/2015 Perubahan Kedua Permen PU No. 07/PRT/M/2011 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Pekerjaan Konstruksi  dan Jasa Konsultansi, pada lampirannya Buku Pedoman Pekerjaan Konstruksi BAB V bagian C angka 4 huruf f):
Memperoleh paling sedikit 1 (satu) pekerjaan sebagai penyedia dalam kurun waktu 4 (empat) tahun terakhir, baik di lingkungan pemerintah maupun swasta termasuk pengalaman sub kontrak, kecuali penyedia yang baru berdiri kurang dari 3 (tiga) tahun.
Masih ada saja Pokja ULP yang menilai pengalaman kerja dengan memberikan bobot pada pengalaman berdasarkan jumlah pengalaman kerja dari penyedia seperti pada gambar dibawah ini :

Demikian beberapa penyimpangan syarat kualifikasi yang sering terjadi, yang penulis dapatkan dari beberapa paket lelang.

#savePBJSehatdanBersih

Kamis, 17 Maret 2016

Pelanggaran Pasal 56 Ayat 11 Perpres 54 Tahun 2010 sejak diberlakukannya, Kesengajaan atau Ketidaktahuan?

Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, yang telah dirubah empat kali, pertama Perpres 35 Tahun 2011, kedua Perpres 70 Tahun 2012, ketiga Perpres 172 Tahun 2014, dan yang terakhir Perpres 4 Tahun 2015, ada beberapa pasal yang tidak pernah diubah. Salah satunya adalah Pasal 56 Ayat 11.

Bunyi Pasal 56 Ayat 11 :
Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan WAJIB menyederhanakan proses kualifikasi dengan ketentuan :
a. Meminta Penyedia Barang/Jasa untuk
    mengisi formulir kualifikasi;
b. TIDAK MEMINTA seluruh dokumen yang disyaratkan kecuali pada tahap pembuktian kualifikasi;
c. Pembuktian Kualifikasi pada pelelangan/seleksi internasional dapat dilakukan dengan meminta dokumen yang dapat membuktikan kompetensi calon Penyedia Barang/Jasa

Pasal tersebut di atas, sejak pertama diberlakukan, kerap dilabrak oleh Pokja ULP. Entah karena kesengajaan atau karena ketidaktahuan mereka.

Selama ini, Pokja ULP dalam menyusun Dokumen Pengadaan, pada syarat lelang sebagian besar Pokja ULP meminta dokumen-dokumen yang disyaratkan untuk dilampirkan dalam dokumen penawaran penyedia.

Masih gunakan pola lama
Standar Dokumen Pengadaan yang digunakan memang yang ada pada lampiran Perpres 54 Tahun 2010. Namun pada BAB IV Lembar Data Kualifikasi, diubah seperti pada Dokumen Pengadaan yang digunakan sebelum lelang elektronik dilaksanakan.

Contohnya, masih banyak yang meminta formulir isian kualifikasi beserta lampiran-lampirannya. Atau pada Daftar Personil Inti meminta dilampirkan Ijazah, KTP, CV dan NPWP, dan pada Data Peralatan meminta dilampirkan Bukti-Bukti Milik/Sewa.

Bahkan lebih parahnya lagi, kalau Pokja ULP mensyaratkan tenaga personil secara berlebihan. Terkadang paket pekerjaan  sederhana pun seperti bangunan gedung kantor sederhana atau saluran air dengan nilai dibawah 1 Milyar, meminta tenaga ahli dan terampil hingga belasan personil. Hal seperti ini biasanya dilakukan untuk mengamankan rekanan "titipan bos".

Hal ini sangat bertentangan dengan amanah dari Pasal 56 Ayat 11 yang jelas-jelas mewajibkan untuk penyederhanaan proses kualifikasi.

Kata "wajib" berarti harus dilaksanakan, bila tidak dilaksanakan berarti melanggar. Hal inilah yang dimaksud dengan penyimpangan prosedur. Penyimpangan prosedur yang dilakukan oleh Pokja ULP, sudah menjadi alasan kuat untuk lelang dibatalkan.

Namun sayangnya, dari kalangan Penyedia Barang/Jasa pun tidak sedikit yang tidak memahami hal tersebut. Akhirnya mereka selamanya nurut saja dengan keinginan Pokja ULP. Seakan-akan Pokja ULP lah makhluk yang lebih tahu tentang Proses Pengadaan Barang/Jasa.

Penulis mengajak, marilah kita sama belajar dan saling mengingatkan agar penyelenggaraan pengadaan barang dan jasa pemerintah dapat berjalan sehat dan bersih.

Semoga bermanfaat...

Rabu, 16 Maret 2016

Syarat Tenaga Ahli hanya untuk Paket Usaha Non Kecil dan Tenaga Terampil untuk Paket Usaha Kecil

Pembahasan ini muncul sejak diberlakunya Permen PU 14 tahun 2013 dan terjadi perubahan yaitu Permen PUPR 31/prt/2015, mengenai cara penilaian dan persyaratan tenaga ahli dan tenaga trampil. Pada kedua aturan tersebut sudah diuraikan tata cara penilaian dan syarat kebutuhan tenaga ahli dan trampil, yaitu :
Untuk Paket Usaha Non kecil hanya dinilai pada personil tenaga ahli, dan pada Paket  usaha kecil cukup dinilai tenaga trampilnya.
  • Penilaian personil manajerial  pada organisasi pelaksanaan pekerjaan. Untuk usaha non kecil tidak termasuk tenaga terampil dan/atau personil pendukung, sedangkan untuk usaha kecil cukup personil pelaksana (tenaga terampil) 

Mungkin akan ada pertanyaan :

Permintaan tenaga Trampil dalam usaha non kecil

Bagaimana jika PPK meminta dalam paket  usaha non kecil dibutuhkan tenaga terampil? Permen PU 31/prt/2015, tidak melarang jika ada pekerjaan yang membutuhkan tenaga terampil, tapi dalam penilaian bukan menjadikan syarat evaluasi,namun hanya menjadi syarat pemenuhan pelaksanaan pekerjaan. yang perlu difahami adalah, bedakan syarat lelang dengan pemenuhan pelaksanaan pekerjaan.  Yang namanya syarat lelang adalah, syarat syarat yang akan menjadi obyek penilaian dan sudah dituangkan dalam dokumen pengadaan . dan yang dinamakan pemenuhan adalah, salah satu petunjuk atau penegasan kepada penyedia, bahwa pada saat pelaksanaan nanti terdapat kewajiban penyedia untuk memenuhinya.

Jika bukan dijadikan penilaian, bagaimana perlakuan tenaga trampil yang diminta? apakah jika ada tenaga trampil yang diminta tidak sesuai dengan dokumen pengadaan, apakah digugurkan?

seperti ulasan saya diatas, bedakan dulu syarat lelang dan pemenuhan. untuk itu, agar tidak terjadi salah tafisaran penilaian, bilamana dalam pekrjaan Paket usaha non kecil PPK membutuhkan tenaga trampil, maka diberlakukan sama dengan seperti ketentuan pemberiaan uang muka, ketentuan jaminan pelaksanan pada draf kontrak/SSKK, yaitu memasukan kebutuhan tenaga trampil pada SSKK, bukan diletakan lagi pada LDP/LDK, sehingga pada saat penilaian personil, tenaga trampil tidak lagi menjadi obyek penilaian.

Terus bagaimana nanti jika pada saat pelaksanaan pkerjaan/ttd kontrak, personil tenaga trampil tidak sesuai dengan SSKK?

Bilamana tidak sessuai dengan SSKK maka akan kembali ke SSUK yaitu pada point 61.5 point c yaitu : mengabaikan pekerjaan yang menjadi tugasnya,maka penyedia berkewajiban untuk menyediakan pengganti.
Catatan : Untuk PPK sebelum dilakukan penandatangan Kontrak, sebaiknya meminta kesiapan penyedia terkait draf SSUK/SSKK agar dapat dipenuhi, Karena setiap kalimat yang ada dalam SSKK ada rancangan kontrak yang akan menjadi kontrak dan undang undang bagi kedua Pihak dan tidak dapat dirubah selain mengurangin waktu pelaksanaan pekerjaan.
semoga dengan ulasan ini dapat menjadi refrensi penilaian tenaga ahli atau tenaga trampil. dan khususnya untuk usaha kecil, tidak ada lagi yang mempersyaratkan tenaga ahli.


Penulis : I Made Heriyana
Silahkan  Kunjungi Blog Penulis

Selasa, 15 Maret 2016

Surat Keterangan Bebas Temuan (SKBT), Bukan Syarat Lelang

SKBT,( Surat Keterangan Bebas Temuan )  itulah yang sering saya baca dalam persyaratan kualifikasi lelang di suatu negeri antah berantah.  Kualifikasi usaha menjadi ajang penambahan “sesuatu ” yang jelas bukan merupakan syarat kualifikasi yang diatur oleh Peraturan Presiden Nomer 54 Tahun 2010 dan perubahannya.

Sesuai Peraturan Kepala Nomer 15 Tahun 2012, Pokja dapat menyesuaikan SBD sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Presiden Tentang Pengadaan Barang dan jasa termasuk Petunjuk Teknisnya. Hal ini setidaknya Pepres tidak memonopoli kebijakanya, namun tetap bersinergi dengan aturan  teknis yang dibuat atau diatur oleh lembaga teknis terkait .

Mengenai persyaratan tambahan yang menyebabkan evaluasi menjadi evaluasi yang tidak sehat, juga di atur dalam IKP SBD LKPP Point 26.3 huruf d anka 2 yaitu “Penambahan dari peserta dengan persyaratan tambahan yang akan menimbulkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau tidak adil diantara peserta yang memenuhi syarat” mengenai penawaran yang memenuhi syarat adalah penawaran yang sesuai dengan ketentuan, syarat-syarat, dan spesifikasi teknis yang ditetapkan dalam Dokumen Pemilihan ini, tanpa ada penyimpangan yang bersifat penting/pokok atau penawaran bersyarat.

Berbicara penawaran yang sesuai tentunya mengacu ke prinsip pengadaan yaitu pada pasal 5 ayat 1 huruf  f “adil/tidak disikriminatif “. Yang namanya diskriminasi dapat saya istilahkan adalah “Merujuk kepada pelayanan yang tidak adil terhadap individu tertentu, di mana layanan ini dibuat berdasarkan karakteristik yang diwakili oleh individu tersebut. Diskriminasi merupakan suatu kejadian yang biasa dijumpai dalam masyarakat manusia, ini disebabkan karena kecenderungan manusian untuk membeda-bedakan yang lain”.

Tentu hal ini akan menyebabkan persaingan lelang yang tidak sehat, yang tidak adil dan akhirnya tidak dapat diikuti oleh seluruh penyedia yang selayaknya memiliki hak untuk berkompetesi,. Maka dari itu, pada pasal 56 ayat 10 , Pepres Nomer 54 tahun 2010 dan perubahannya “ULP/Pejabat Pengadaan dilarang menambah persyaratan kualifikasi yang bertujuan diskriminatif serta diluar yang telah ditetapkan dalam ketentuan Peraturan Presiden ini.” Hal ini juga pelarangan kepada PA/KPA pada saat melakukan pemaketan pekerjaan yaitu pada pasal 24 ayat d ” PA dilarang menentukan kriteria, persyaratan atau prosedur pengadaan yang diskriminatif dan/atau dengan pertimbangan yang tidak obyektif.

SKBT,( Surat Keterangan Bebas Temuan ) menurut seorang Pokja nun jauh disana mengapa  disyaratkan , karena Pokja harus dituntut mendapatkan penyedia yang kualifiet yang dapat menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan kontrak . Dengan adanya persyaratan tersebut, maka akan meminimalisasi permasalahan pada pelaksanaan pekerjaan.

Pertanyaan saya adalah, apakah SKBT itu merupakan jaminan penyedia itu akan melakukan pekerjaan sesuai dengan Kontrak? apakah SKBT tersebut merupakan jaminan layaknya jaminan penawaran, jaminan pelaksanaan yang menjadi jaminan PPK untuk memberikan sanksi pencairan dana kepada Penyedia? Jika iya , tentunya SKBT itu dijamin oleh asuransi atau bank dengan nominal nilainya. Namun nyatanya SKBT itu hanyalah sebuah surat pengakuan dari Tim Pemeriksa/Inspektorat, bahwa penyedia selama ini bebas temuan merugikan negara.

Untuk mendapatkan penyedia yang baik dan kualifiet, tidak mesti harus membatasi penyedia yang ingin menawar dengan penambahan syarat yang bukan merupakan syarat yang dapat secara adil dipenuhi peserta, namun PPK dalam hal ini yang memiliki tugas membuat persyaratan teknis sebaiknya lebih mengamankan klausul rancangan kontraknya dengan melihat pengalaman kontrak sebelumnya menjadi pembelajaran untuk merancang kontrak lebih baik , ketimbang harus membuat persyaratan tambahan lain yang justru mengkotak kotakan penyedia.

Berbicara SKBT,( Surat Keterangan Bebas Temuan ) jika hanya sifatnya sebagai alasan untuk mencari penyedia yang kualifiet, maka ingat lah pada kontrak , perjanjian kontrak, baik SSUK dan SSKK nya. Dalam kontrak sudah memberi resiko resiko atas wanprestasi kepada penyedia, baik pemutusan kontrak, pencairan dana dan bahkan pencatuman daftar hitam. Maka dari itu, setiap terjadinya cidera janji pada kontrak, PPK mesti bersikap tegas dengan menjalankan Amanat Pasal 93 ayat 2 yaitu “
Dalam hal pemutusan Kontrak dilakukan karena kesalahan Penyedia Barang/Jasa:
  • Jaminan pelaksanaan dicairkan
  • sisa Uang Muka harus dilunasi oleh Penyedia Barang/Jasa atau Jaminan Uang Muka dicairkan;
  • Penyedia Barang/Jasa membayar denda keterlambatan; dan 
  • Penyedia Barang/Jasa dimasukkan dalam Daftar Hitam.
Jika amanat itu dijalankan, maka kedepan PPK tidak harus terlalu trauma dengan penyedia penyedia yang tidak baik melaksakan pekerjaan dengan malah menambah persyaratan persyaratan yang sama sekali tidak dapat dipenuhi semua penyedia, apalagi yang ingin menawar nanti penyedia yang baik kualfikasinya. Dengan adanya pemutusan kontrak dan berakhir dengan Daftar hitam, maka kedepan penyedia tersebut tidak akan lagi dapat mengikuti pekerjaan sebagai penyedia, karena pada pasal 19 ayat 1 huruf n, sebagai penyedia harus tidak masuk daftar hitam “

Jadi menurut saya, jika pun alasannya  karena ada  Perwali/Perbupdan sekalipun pergup,untuk meminta persyaratan ini,  maka harus diingat pasal 129 ayat 3 “Pengaturan Pengadaan Barang/Jasa yang dibiayai APBN, apabila ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri/Pimpinan Lembaga/ Institusi lain Pengguna APBN, harus tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden dan ayat 4 ” .Pengaturan Pengadaan Barang/Jasa yang dibiayai APBD, apabila ditindaklanjuti dengan Peraturan Daerah/Keputusan Kepala Daerah/Pimpinan Institusi lainnya pengguna APBD, harus tetap berpedoman serta tidak boleh bertentangan dengan ketentuan Peraturan Presiden .

Semoga kedepan tidak ada lagi penambahan penambahan persyaratan yang tentunya bertetangan dengan Peraturan presiden tentang pengadaan barang dan jasa.

Penulis : I Made Heriyana

INPRES No. 1 Tahun 2016, Dalam Penanganan Perkara Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah


Dalam Rangka Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional
untuk Kepentingan Umum dan Kemanfaatan Umum
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menginstruksikan kepada :
JAKSA AGUNG DAN KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA
1.  Mendahulukan proses administrasi Pemerintahan sesuai ketentuan Undang-Undang 
     Nomor  30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan sebelum melakukan penyidikan 
     atas laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan 
     Proyek Strategis Nasional
2.  Meneruskan/menyampaikan laporan masyarakat yang diterima oleh Kejaksaan Agung Republik   
     Indonesia atau Kepolisian Negara Republik  Indonesia mengenai penyalahgunaan wewenang 
     dalam pelaksanaan Proyek Strategis Nasional kepada pimpinan kementerian/lembaga atau 
     Pemerintah Daerah untuk dilakukan pemeriksaan dan tindak lanjut penyelesaian atas laporan 
     masyarakat, termasuk dalam hal diperlukan adanya pemeriksaan oleh Aparat Pengawasan Intern 
     Pemerintah.
3.  Melakukan pemeriksaan atas hasil audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah mengenai
     temuan tindak pidana yang bukan bersifat administratif yang disampaikan oleh pimpinan 
     kementerian/lembaga atau Pemerintah Daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.  
4.  Melakukan pemeriksaan atas hasil audit Aparat Pengawasan Intern Pemerintah sebagaimana 
     dimaksud pada angka 3, dengan berdasarkan:
     a. Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik;
     b. alasan yang objektif; 
     c. tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan  
     d. dilakukan dengan iktikad baik 
 
5.  Tidak mempublikasikan pemeriksaan secara luas kepada masyarakat sebelum tahapan 
     penyidikan.
6.  Menggunakan pendapat dan/atau penjelasan/keterangan ahli dari kementerian/lembaga yang 
     berwenang sebagai tafsir resmi dari peraturan perundang-undangan terkait.
7.  Menyusun peraturan internal mengenai tata cara (Standar Operasional dan Prosedur/SOP) 
     penanganan laporan masyarakat yang menyangkut penyalahgunaan wewenang dalam 
     pelaksanaan Proyek Strategis Nasional sebagai dasar pelaksanaan tugas di masing-masing 
     jajaran unit instansi vertikal.
8.  Memberikan pendampingan/pertimbangan hukum yang diperlukan dalam percepatan pelaksanaan 
     proyek strategis nasional.
9.  Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap jajaran dibawahnya dan memberikan tindakan 
     apabila terdapat penyimpangan dan pelanggaran.

 
 Silahkan Download Inpres RI No. 1 Tahun 2016

Minggu, 13 Maret 2016

Trik : Menghindari Persekongkolan Tender dalam Pembuatan Penawaran


  1. Hindari menggunakan perusahaan yg manajemenx ada hubungan keluarga atau hubungan kekerabatan lainnya dalam 1 paket pekerjaan yg dilelang, termasuk alamat yg sama.
  2. Bila Jaminan Penawaran disyaratkan (untuk paket Non Kecil), hindari membuat Jaminan pada Asuransi yg sama atau jangan sampai Nomor Seri Jaminan berurutan.
  3. Dalam membuat Penawaran, Huruf yang digunakan tidak perlu dirubah2, karena rata2 Excel menggunakan standar huruf yg sama, yakni Arial atau Calibri, Microsoft Word rata2 menggunakan Times New Roman atau Arial.
  4. Format Tabel dirubahlah sedikit.. jangan sampai lebar kolom sama semua... terutama pada Time Schedule... tetapi perlu diketahui, Permen PUPR No. 31/PRT/M/2015, Pokja DILARANG persyaratkan Network Planing, Jadwal Mobilisasi, Maupun jadwal dalam bentuk Diagram.
  5. Methode Pelaksanaan, kalau bisa dibuat oleh beberapa orang, jangan cuma 1 otak. Karena bagaimanapun dibolak balikx kalimat, tetap akan menunjukkan ciri kalau hanya 1 otak yang mengolah kalimatx.
  6. Dalam Daftar Harga Upah dan Bahan, usahakan semua item harga dirubah jangan ada yg sama dengan penawaran lainnya. Terutama pada item bahan yg tidak terpakai.
  7. Dan yg paling penting.. Hindari menggunakan lebih dari 1 Perusahaan. Karena Perpres 4 Tahun 2015, bila hanya 1 Penawaran yg masuk, lelang tidak gagal, evaluasi dilanjutkan, bila bersyarat proses tetap dilanjutkan dengan Negosiasi dan Klarifikasi Harga.

Semoga bermanfaat...
‪#‎savePBJSehatdanBersih‬